Hukum Asuransi dalam Islam, Begini Penjelasannya

JSMedia – Manusia memang selalu membutuhkan keyakinan dalam mengambil keputusan, tak terkecuali pada saat mempertimbangkan layanan asuransi. Salah satu yang bisa menjadikan dasar keyakinan menggunakan suatu produk asuransi adalah bagaimana hukumnya. Dan sebagai negara dengan mayoritas Muslim, hukum asuransi dalam Islam menjadi salah satu hal yang seringkali ingin diketahui.

Bagaimana Hukum Asuransi dalam Islam?

Hukum Asuransi dalam Islam

Salah satu pertanyaan mendasar tentang penggunaan asuransi adalah bagaimana hukum asuransi dalam Islam, boleh ataukah tidak? Meskipun terkesan sebagai sebuah pertanyaan sederhana, nyatanya adanya perbedaan pendapat seringkali membuat masyarakat masih merasa bingung. Inilah yang kemudian membuat sebagian dari mereka masih ragu dalam menggunakan layanan proteksi.

Secara umum sendiri, asuransi memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan atas kerugian finansial yang bisa saja terjadi sesuai dengan risiko tertentu. Hak perlindungan didapatkan dengan cara melakukan kewajiban pembayaran premi. Perjanjian antara peserta dengan perusahaan asuransi ini sendiri terikat selama periode tertentu.

Premi yang telah dibayarkan para peserta kemudian dikelola oleh perusahaan asuransi dengan keuntungan yang dapat digunakan untuk menanggung kerugian finansial yang dialami peserta. Bisa dikatakan bahwa skema perlindungan tersebut menggunakan praktik jual beli. Namun demikian, karena perlindungan yang diberikan tidak memiliki wujud, maka dianggap tidak memenuhi syarat dalam hukum Islam.

Dengan kata lain, asuransi konvensional dengan praktik jual beli-nya yang tidak ideal menurut Islam, tidak dianjurkan bagi Muslim yang ingin memiliki perlindungan. Selain itu, dalam asuransi umum ini juga terdapat unsur ribawi melalui penerapan bunga. Meskipun bunga bisa menjadi hal yang disepakati, namun Islam tidak mengizinkan pemberian uang melalui cara ini.

Jadi, penggunaan asuransi konvensional yang memang tidak sesuai dengan prinsip ajaran Islam adalah hal yang tidak dianjurkan. Selain untuk menegakkan ajaran agama, masih ada opsi jenis asuransi lainnya yang mungkin lebih layak untuk dipertimbangkan oleh kaum Muslim. Ya, jenis asuransi yang dimaksud adalah asuransi syariah.

Lalu Bagaimana dengan Asuransi Syariah?

Asuransi konvensional yang tidak menerapkan praktik jual beli jasa sesuai ajaran Islam, mengandung praktik riba (bunga) dan ketidakjelasan (gharar) memang patut dihindari oleh masyarakat yang ingin kesempurnaan dalam berkeyakinan. Namun bukan berarti tidak ada layanan yang dapat menjanjikan manfaat sejenis asuransi yang lebih sesuai dengan prinsip Islam.

Belakangan, muncul jenis asuransi lain yang diklaim lebih sesuai dengan syariat karena tidak menekankan pada skema asuransi secara umum di atas. Ya, Anda mungkin sudah pernah mendengar bahwa opsi asuransi syariah bisa jadi alternatif. Jenis asuransi syariah ini, dalam praktiknya tak hanya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan melainkan juga oleh Dewan Pengawas Syariah Majelis Ulama Indonesia (DPS MUI).

Dalam upaya memberikan layanan asuransi syariah yang dapat membawa kemaslahatan dan mensejahterakan perekonomian umat tanpa melanggar prinsip ajaran Islam, hadirlah asuransi syariah. Dan demi mencapai tujuan tersebut, layanan asuransi ini menggunakan pedoman yang memperhatikan maqashidus syariah.

Maqashidus syariah adalah tujuan penerapan syariah Islam dalam bidang ekonomi, dengan visi membentuk tatanan sosial yang dapat memberikan keadilan dan kemakmuran ekonomi umat. Melalui tujuan ini, maka pendekatan yang digunakan pada asuransi syariah pun menghasilkan pola pikir dan gambaran rasional serta substansial pada berbagai aspek asuransi syariah.

Seperti Apa Konsep Mendasar dari Asuransi Syariah?

Melalui hadirnya asuransi syariah ini, maka sebagian ulama pun menentukan hukum asuransi sebagai boleh atau mubah. Hal ini dikarenakan asuransi syariah menggunakan konsep mendasar yang bisa dikatakan berbeda dari asuransi konvensional. Lantas bagaimana konsep dasar dari asuransi syariah ini?

1. Berlandaskan Al Quran

Asuransi memang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al Quran. Namun demikian, bukan berarti manusia tidak bisa menciptakan sesuatu berdasar apa yang diperintahkan dalam kitab suci umat Islam tersebut. Asuransi syariah, dirancang sedemikian rupa melalui penjabaran Fatwa DSN MUI berlandaskan Al Quran dan Hadits.

2. Perjanjian untuk Saling Tolong-Menolong

Berbeda dengan asuransi konvensional yang menerapkan praktik jual beli jasa, asuransi syariah menerapkan akad tabarru atau perjanjian untuk saling tolong-menolong. Dengan demkian, jenis asuransi ini mengesampingkan tujuan komersil demi tujuan kebajikan. Hal ini juga yang kemudian membuat asuransi syariah terhindari dari berbagai praktik yang dilarang seperti riba, gharar, maisir, zhulm, risywah, barang haram maupun maksiat.

3. Kerjasama dalam Berbagi Risiko

Asuransi syariah menerapkan pengelolaan risiko yang berbeda dari asuransi konvensional. Jika asuransi konvensional mengalihkan risiko kepada perusahaan asuransi, pada asuransi syariah risiko ditanggung bersama oleh para peserta. Dalam hal ini, para peserta asuransi syariah bekerjasama tolong-menolong membantu saat salah satu di antara mereka mengalami musibah.

4. Tak Hanya Diawasi Otoritas Jasa Keuangan

Seperti halnya asuransi konvensional, asuransi syariah juga diatur dan diawasi oleh OJK sebagai lembaga yang berwenang. Praktik asuransi yang dijalankan oleh asuransi syariah juga diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hal ini untuk memastikan bahwa layanan asuransi tersebut tidak menyimpang dari ajaran agama.

5. Adanya Rekening Dana Tabarru’

Asuransi syariah menggunakan rekening khusus untuk menampung dana yang dikumpulkan dari premi yang dibayarkan oleh para peserta. Pengelolaan dana tersebut sebagian kecilnya menjadi hak perusahaan asuransi sebagai biaya (ujrah). Besaran biaya ini telah disepakati sejak awal antara peserta dan perusahaan.

6. Pembayaran Klaim dari Rekening Dana Tabarru’

Dana tabarru’ digunakan untuk membayar klaim yang diajukan oleh peserta asuransi. Jadi pencairan tidak menggunakan rekening perusahaan, melainkan dari rekening dana bersama tadi. Hal ini menjadi bukti bahwa adanya kerjasama saling membantu sesama yang mengalami musibah.

7. Alokasi Investasi Sesuai Prinsip Syariah

Seperti halnya asuransi unit link konvensional, perusahaan asuransi syariah juga bisa menawarkan produk yang memiliki manfaat investasi. Bedanya, alokasi dana untuk investasi ini secara khusus hanya ditempatkan pada media investasi yang juga sesuai dengan prinsip syariah. Dengan kata lain, instrumen dan kegiatan investasi yang dilakukan tidak boleh berunsur riba dan sebagainya.

Nah, dari penjelasan terkait konsep dasar asuransi syariah di atas, Anda mungkin sudah memiliki gambaran mengapa jenis asuransi ini bisa diperbolehkan oleh sebagian ulama. Tujuan utama dari praktik asuransi syariah tidak semata-mata untuk mengejar keuntungan dan pengalihan risiko semata, melainkan demi menjalankan perintah Allah untuk saling tolong menolong dalam kebaikan.

Dasar Hukum Asuransi Syariah Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan  

sebagai salah satu jenis produk keuangan, maka asuransi syariah pun perlu mendapat jaminan kepastian dari lembaga negara, dalam hal ini Kementrian Keuangan. Hukum asuransi syariah kemudian dijelaskan dan dilindungi dalam Peraturan Menteri Keuangan No 18/PMK.010/2010 tentang Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah.

Hukum Asuransi Syariah Berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)  

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan Fatwa MUI Nomor: 21/DSN-MUI/X/2001. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa Islam tidak melarang seseorang untuk memiliki asuransi, selama dana yang terkumpul dikelola sesuai prinsip dan syariat Islam. Tujuan penggunaan produk asuransi syariah adalah untuk berusaha mengatisipasi risiko ekonomi dengan menyiapkan dana tertentu.

Lebih detail, dalam fatwa tersebut juga dijelaskan tentang berbagai aspek terkait asuransi syariah, sebagai berikut:

  • Bentuk Perlindungan: asuransi syariah memberikan perlindungan terhadap jiwa dan harta seseorang atas berbagai risiko yang bisa saja terjadi dalam menjalani kehidupan
  • Unsur Tolong-Menolong: dana tabarru’ menjadi semacam dana sosial yang menjadi wujud saling tolong-menolong diantara peserta asuransi syariah
  • Adanya Unsur Kebaikan: saling bekerjasama dalam tolong-menolong serta praktik investasi sesuai syariah menjadi wujud dari unsur kebaikan yang terkandung dalam asuransi syariah
  • Saling Berbagi: baik risiko maupun keuntungan, akan dibagi secara adil dan merata yang kemudian membuat asuransi syariah ini tidak semata-mata bertujuan demi mencari keuntungan
  • Muamalah: karena melibatkan orang lain dalam hal keuangan, maka asuransi syariah ini pun tergolong dalam bermuamalah secara positif sesuai prinsip ajaran Islam
  • Musyawarah: asuransi syariah menekankan pentingnya musyawarah untuk mencapai solusi atau mufakat saat terjadi perselisihan, dimana Badan Arbitrase Syariah akan menjadi solusi akhir

Nah, selain Pedoman Umum Asuransi Syariah pada fatwa No 21/DSN-MUI/X/2001 tersebut, masih ada sejumlah tambahan yang ikut menguatkan dasar hukum asuransi syariah, yaitu:

  • Tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah, melalui fatwa No 51/DSN-MUI/III/2006
  • Tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah melalui fatwa No 52/DSN-MUI/III/2006
  • Tentang Akad Tabarru pada Asuransi Syariah melalui fatwa No 53/DSN-MUI/III/2006

Hukum Asuransi Syariah Berdasarkan Al Quran dan Hadits

Setidaknya ada 3 dasar hukum yang menjadi dasar dari pembolehan asuransi syariah dalam Islam. Fatwa MUI di atas pun juga tidak akan terjadi tanpa adanya ketiga dasar hukum yang lebih kuat berikut ini:

1. Surat Al Maidah ayat 2

Dalam ayat ini, manusia diperintahkan untuk saling tolong-menolong dalam hal-hal yang baik, yaitu kebajikan dan ketakwaan. Dalam ayat ini pula, diketahui bahwa kita juga harus menghindari kerjasama untuk berbuat dosa dan pelanggaran.

2. Surat An Nisa’ ayat 9

Ayat ini bisa menjelaskan tentang perasaan khawatir atas nasib anak keturunan yang masih lemah fiansialnya apabila mereka ditinggal mati. Maksud dari ayat ini bisa saja memperbolehkan seseorang untuk meninggalkan wasiat dengan batasan tertentu.

3. Hadits

HR Muslim dari Abu Hurairah yang berbunyi “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat”, maka apabila seseorang membantu sesamanya, maka kelak Allah akan memberikan balasan bantuan kepadanya di hari akhir.

Kesimpulan

Jadi, hukum asuransi dalam Islam memang tidak dianjurkan. Namun demikian, ada jenis asuransi syariah yang lebih sesuai dengan prinsip syariah dan diperbolehkan karena memiliki tujuan utama untuk melaksanakan perintah Allah (saling tolong-menolong dalam kebaikan) dan menjauhi larangan (praktik riba dan sebaginya). Anda sebagai calon peserta asuransi pun bisa mempertimbangkan, manakah layanan yang paling ideal.